Jumat, 15 Oktober 2010

Bang Amir, Silmi Kaffah Penuntun Pengemis

Namanya tidak asing bagi orang yang suka menghadiri pengajian atau khotbah jumat. Silmi Kaffah, gadis kecil yang berusia 4 tahunan. Di usia BALITA tidak menghalangi dirinya untuk membantu mencari penghasilan orang tuanya. Kedua orang tuanya adalah penyandang cacat mata yang berprofesi sebagai pemijat. Orang barangkali tidak menyangka gadis kecil cantik ini mempunyai orang tua yang keduanya buta. Silmi kecil berkulit putih menjadi penuntun orang tuanya menuju pasien pijat yang memerlukan jasa kedua orang tuanya.
Bang Amir, pertama kali berkenalan dengan keluarga ini beberapa hari lalu, ketika mereka pindah ke sekitar rumah. Angsuran rumah petak perbulan 300 ribu yang disewanya mengharuskan kedua orang tua Silmi ini mencari pelanggan pijat secepatnya.
Berangkat dari rasa ingin membantu keluarga ini, istri bang Amir yang baik hati menjadi pasien pijat yang pertama kali. Dari percakapan ringan dengan ibunya Silmi terungkaplah alasan kepindahan ke kontrakan rumah yang baru, yaitu karena pasien pijat di tempat yang lama sangat sepi. Di rumah kontrakan yang baru ini, harapan mendapatkan pasien yang lebih banyak adalah keinginan satu-satunya keluarga Silmi ini.



Rambut Silmi yang sedikit memerah mendorong istri bang Amir bertanya kepada ibunya, “Rambut Silmi kok merah ? apa disemir, bu?”, tanyanya.
Pertanyaan iseng sebenarnya, akan tetapi jawaban dari ibu Silmi inilah yang akan merubah alur cerita hubungan keluarga bang Amir dan keluarga Silmi kecil.
“Sebenarnya kalau pas pasien sepi, salah satu yang dapat menuntun dan membantu suami saya cuma Silmi ini ….”, jawab ibu Silmi dengan polos.
“Menuntun kemana, bu ?”, balas istri bang Amir.
“Menuntun suami saya meminta-minta menjadi pengemis di Terminal Cililitan”, jawabnya polos. Seperti tersambar petir di siang bolong, terlihat kekagetan di wajah istri bang Amir.
“Sebenarnya kami malu bu melakukan profesi sebagai pengemis, akan tetapi tidak ada cara lagi yang dapat kami lakukan selain itu…”, imbuhnya dengan wajah dan suara yang masih polos.
Jawaban yang polos dan apa adanya ini, membuat detak jantung istri bang Amir berdegup cepat. Kepolosan wujud kejujuran dan kepasrahan. Perasaan bersalah dan berdosa menyelimuti hati kecil istri bang Amir. Jadi rambut Silmi yang sedikit memerah ini karena panas terik di Terminal Cililitan sana, batin istri bang Amir. Ya Allah… betapa besar dosa-dosa hamba membiarkan mereka menderita, rintih istri bang Amir.
Percakapan ini disampaikan juga ke bang Amir. Istri bang Amir pun meminta kepada bang Amir agar mau dipijat oleh ayahnya Silmi. Agar target penghasilan mereka dapat memenuhi untuk membayar kontrakan bulan ini. Karena kalau hari itu tidak ada pasien pijat, maka ayah Silmi akan berangkat ke Terminal Cililitan menekuni “sambilan”-nya.
Bang Amir memang sedikit tidak nyaman kalau dipijat. Maka hobi pijat pun tidak ada dalam rangkaian jalan hidupnya. Pengalaman yang sudah-sudah, setelah dipijat biasanya badan tidak menjadi enak, malah terasa “cekot-cekot” karena terasa ngilu semua. Karena itu penawaran pijat biasanya ditolak dengan halus oleh bang Amir. Akan tetapi setelah mendengar penuturan cerita istrinya tentang keluarga Silmi, akhirnya bang Amir menerima tawaran istrinya.
Sore itu bel rumah terdengar, “Tetttttttttt ….Tetttttttt”, pertanda ada tamu yang datang. Di depan rumah muncul Silmi kecil menuntun bapaknya yang buta.
“Masya Allah, luar biasanya si Silmi kecil ini, malaikat kecil penuntun ayahnya,” batin bang Amir.
Anak seusianya mempunyai dunia yang pasti menyenangkan dengan sibuk berlari-lari dan bermain ayunan di taman kampung. Dari obrolan kecil di tengah pemijatan, ayah Silmi mengatakan bahwa karena suhu badan dengan panas yang tinggi, menyebabkan ketika kecil harus kehilangan kedua penglihatannya. Ada hal yang luar biasa dari seorang ayah yang buta ini, yaitu begitu sayangnya kepada si Silmi kecil. Ditegurnya dengan halus si Silmi kecil apabila melakukan hal-hal yang dilihatnya akan mengganggu suasana pemijatan.
Allah Maha Adil, batin bang Amir, kasih sayang seorang ayah kepada anaknya tidak Allah padamkan walaupun nikmat penglihatan itu dicabut-Nya. Subhanallah, sangat malunya orang yang dapat melihat dan mempunyai anak yang sehat tetapi tidak bersyukur kepada Rabb Yang Maha Tinggi.
Anak paling kecil bang Amir adalah Fathimah, seusia dengan Silmi kecil.
“Mi, lihatlah Fathimah dan Silmi ini …”, kata bang Amir kepada istrinya suatu ketika.
Sambil dipegang tangan kedua anak itu erat-erat, bang Amir melanjutkan kalimatnya.
“Mi, kedua anak ini sama…. sama-sama makhluk Allah… anak dari manusia… mereka mempunyai ayah dan ibu…. mempunyai tangan dan mata… hanya takdir Allah menentukan lain… yang satu di asuh oleh hamba-Nya yang lebih berkecukupan… dan yang satu di asuh oleh hamba-Nya yang berada dalam kekurangan…. kedua anak ini mi, bernasib beda… bajunya beda, sandalnya beda, tempat tinggalnya beda…”, ujar bang Amir dengan mimik serius.
Keheningan melingkupi suasana mereka berdua. Entah renungan apa yang muncul di benak bang Amir dan istrinya.
“Mi, kalau kecukupan ini adalah sebuah nikmat dan jalan kemudahan…. betapa Allah telah memuliakan kita ya mi…”, sambung bang Amir lirih.
Bang Amir pun teringat akan dirinya selama ini, betapa banyak nikmat Allah yang terkadang tidak sempat disyukurinya. Betapa banyak keluarga-keluarga seperti keluarga Silmi ini yang membutuhkan uluran pertolongan si mampu.
“Ah, seandainya mereka yang jauh nun di sana dapat bersatu saling membahu…. mungkin keluarga ini dapat lebih tertolong …”, batin bang Amir menutup keheningan malam.
Kesedihan bang Amir semakin terasa ketika mendengar bahwa  Silmi sekeluarga telah pindah ke kontrakan barunya, karena sepinya pelanggan pijat. Duh ! Ya Robbi.
Cinere – Depok, 27 Rajab 1430H

Oleh : Muhammad Yusuf Efendi (dakwatuna.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar